March 24, 2013

Sebuah Nasionalisme Bernama 'Sepakbola'

,

Semua orang menyukai sepakbola. Baik yang bisa bermain ataupun hanya sekedar penikmat seperti saya-yang berlari setengah lapangan bola sudah ngos-ngosan. Berbagai aksi fanatisme dilakukan dari menonton setiap pertandingan, hingga rela kehilangan beratus ribu bahkan berjuta-uang untuk mendapatkan pernak pernik klub/tim kesayangan.


Saya termasuk satu dari berjuta orang yang menggemari sepak bola. Saya menyukai satu atau beberapa klub/tim tertentu. Bukan klub dari liga domestik. Tapi, saya pendukung setia timnas negeri ini.

Baru saja berakhir pertandingan pra piala Asia antara kesebelasan kita melawan timnas KSA yang berakhir 1-2 untuk kemenangan timnas KSA. Pahit memang melihat buruknya permainan lawan, bahkan kita sempat unggul di menit awal, tapi pada akhirnya harus menelan kekalahan. Akan tetapi saya lebih suka mengambil segala sesuatu yang positif dalam hal ini. Tercatat ada dua hal utama yang menurut saya patut diapresiasi:
  1. Setelah bersatunya dualisme pucuk kepemimpinan badan tertinggi sepak bola negeri ini, semua pemain  terbaik memiliki kesempatan yang sama berebut tempat utama di timnas secara fair. Tidak terbatas legalitas liga yang diikuti klub yang dibelanya. Sebuah kesatuan.
  2. Merah. Hanya sebuah warna, tetapi mampu membuat bulu kuduk merinding saat kerumunan merah itu menggemakan puja puji untuk timnas kita. Tremble.

Kedua hal di atas tidak lepas dari besarnya rasa cinta tanah air kita terhadap negeri ini. Berbondong-bondong pemain melakukan naturalisasi. Betapa mereka bersusah payah bersaing bermain paling baik padahal belum jaminan masuk skuat inti timnas. Sebuah perjuangan yang tentunya tidak mudah.

Saya bukan termasuk yang jauh-jauh datang ke GBK untuk menyaksikan secara live di stadion. Namun ada satu, atau sepuluh, atau seratus bahkan seribu orang di dalam stadion tadi, meluangkan waktu, melupakan lelah dan tidak memperdulikan akan tinggal dimana mereka semalaman nanti. Mereka datang tidak hanya dari ibu kota, bisa dari Bandung, Lampung, Medan, Maluku, bahkan Papua. Kenapa mereka mau melakukan itu? Mereka tidak digaji lho, mas bro. Mereka tidak disuruh siapapun melainkan kata hati mereka. How gaul it is!  *oh please kata-katanya*

Miris rasanya masih banyak yang tidak mendukung teman-teman kita di lapangan. Bahkan ada yang merendahkan, menghina, dan balik mendukung lawan. Oh please...jangan beri kami pilihan tanah air atau tanah suci. Sebuah pertanyaan tidak cerdas meskipun pemilihan kata yang cerdas.

Kita caci maki klub/tim lain saat klub/tim kesayangan dihujat. Begitu mudah kita tersinggung, tapi saat timnas main jelek, kita malah menghina habis-habisan timnas kita.
Pernah terpikirkah, berapa banyak keringat dan luka yang mereka berikan untuk mengharumkan nama bangsa ini? Lalu kita sudah berbuat lebih baikkah dari mereka? Astaghfirullah al adziim. Benci saja yang busuk, jangan benci mereka yang hanya tahu ‘berjuang membela tanah air’! anda-anda yang terhormat yang tidak mendukung timnas, dimanakah anda tinggal? Apa kop kartu tanda penduduk anda? J 

Over all. Masih lebih banyak rasa cinta daripada benci pada negeri ini. Mereka masih setia menggemakan lagu penyemangat meskipun pertandingan jelas, kita kalah. Kita masih nol point. Pun dengan hati saya yang selalu berteriak “We love you indonesia! We do! We love you Indonesia! We do!” J


0 komentar to “Sebuah Nasionalisme Bernama 'Sepakbola'”

Post a Comment